ME
Follow Me
Dahulu, orang membeli pakaian dengan tujuan menutup aurat dan dipandang bersih serta terawat. Lalu sekarang, Orang membeli pakaian dengan tujuan gaya, modis, trendy.

Masa ke Masa
Dahulu, orang membeli pakaian dengan mempertimbangkan bahan dan modelnya. Lalu sekarang, orang membeli pakaian dengan mempertimbangkan "ada yang nyamain gak yak?" alias limited edition. (baca : SEKALIPUN BAHANNYA TIPIS DAN TEMBUS PANDANG)

Dahulu, orang membeli semangkuk baso karena rasanya enak, hasil dari perpaduan daging, bumbu dan kuah. Lalu sekarang, orang membeli semangkuk baso karena namanya unik, bentuknya beda, harganya mahal, meski bumbunya biasa saja.

Dahulu, orang membeli kendaraan untuk mempermudah sampai ke tempat tujuan. Lalu sekarang, orang membeli kendaraan harus yang model tangki depan, mobil sport, dan klo bisa limited edition.

Dahulu, orang menciptakan handphone untuk berkomunikasi jarak jauh lalu orang yang butuh membelinya. Sekarang, handphone diciptakan agar bisa berfoto, berfoto untuk diri sendiri.

Dahulu, handphone berfungsi untuk mendekatkan yang jauh via telephone dan sms. Lalu sekarang, hampir semua orang punya handphone dan sibuk dengan handphone masing-masing, akibatnya, yang dekat terasa jauh.

Dahulu, lomba diadakan dengan tujuan agar bisa saling mengunjungi, saling mengenal, dan belajar berkompetisi sehat. Lalu sekarang, lomba membuat kita saling bermusuhan, ajang pamer, dan penuh unsur komersil. Berkompetisi sehat? sudahlah, lupakan. Hanya ada ego.

Dahulu, orang malu untuk menjadi pengemis dan itu pun karena terpaksa. Lalu sekarang?? sepertinya mengemis merupakan profesi yang menjanjikan dengan income bulanan yang fantastis, hhe.

Ini semua tentang pergeseran nilai. Apa itu pergeseran nilai? Pergeseren nilai adalah perubahan nilai yg terjadi di masyarakat yg menyebabkan suatu penyimpangan sosial yg awalnya dianggap buruk menjadi dianggap baik karena adanya pergeseran nilai itu.

Lalu apa penyebabnya? Bisa pengaruh globalisasi, bisa juga pendidikan. Tapi faktor yang paling mempengaruhi menurut saya adalah faktor pendidikan yang ada di Indonesia yang begitu rendah dalam hal standar. Terbukti dan sudah sangat jelas bahwa penghapusan ujian nasional atau UN merupakan awal kemunduran pendidikan, karena itu merupakan standar pendidikan nasional seharusnya, bukan standar kelulusan.

(artikel terkait : Sudah Benarkah UN dihapus?)

Begitulah pergeseran nilai terjadi. Apakah anda merasakannya? atau hanya saya?

Lalu bagaimana cara mengatasinya? temukanlah jawabannya sendiri, lalu infokan ke saya via
kolom komentar :)

4 Ramadhan 1438 H / 30 May 2017
Pernahkah anda membeli motor? atau mobil? atau handphone? atau Chiki? Yoms, salah satunya pasti pernah. Pertanyaan selanjutnya adalah pernahkah terfikir bagaimana prosesnya? apakah sudah baik dan benar atau jangan-jangan belum? Lalu, beberapa orang akan berfikir, pasti sudah karena meyakini sebuah produk yang keluar dari pabrik sudah berdasarkan prosedur panjang, dan yang pasti memiliki Standard. Tiap perusahaan memang memiliki standard yang berbeda, tapi yang pasti mereka memiliki standard.

Jenjang Pendidikan

Di Indonesia, begitu banyak permasalahan sepele yang tidak pernah selesai. Begitu banyak orang pintar, tapi tidak memajukan Indonesia. Begitu banyak partai, tapi hanya membawa kepentingan kelompok, bukan Negara. Begitu banyak manusia, tapi hanya tahu makan dan kerja.

Menurut saya, semua permasalahan terjadi karena salah satu faktor terbesar, yaitu pendidikan. Apa yang salah? yang salah adalah system yang ada dan kita akan menghapus UN yang menjadi standard pendidikan di Indonesia.

Di kota besar, untuk masuk Sekolah Dasar diharuskan sudah bisa membaca. Sedangkan pendidikan formal dimulai dari tingkat SD. ANDA NGELAWAK? *pengalaman_adik_saya

Lalu akan ada penghapusan UN yang selalu menjadi standard pendidikan di Indonesia.

Alasan : Abisnya, gara-gara UN, anak saya gak lulus sekolah! padahal anak saya pintar lho.

Jawab : Saya setuju jika UN, sebaiknya bukanlah standard kelulusan, melainkan standard pendidikan nasional. Jadi UN, bukan penentu seorang siswa lulus atau tidak. Karena itu merupakan kebijakan sekolah.

Selain itu, dalam dunia pendidikan dibutuhkan tenaga pengajar yang berkualitas. Dalam hal ini, saya punya pandangan sendiri. Bagi saya, guru tidak harus pintar karena kebanyakan orang pintar, hanya untuk dirinya sendiri dan tidak punya kemampuan menyampaikan ilmu kepada murid dengan baik.

Sebagai contoh kasus :

Guru NG : hanya menulis materi di papan tulis dan menjelaskannya dengan lisan, tidak memberikan gambaran visual.

Guru OK : tidak hanya menulis di papan tulis dan menjelaskannya dengan lisan, tapi juga memberikan gambaran visual dan praktek membuat kubus disertai menulis rumus matematikanya pada kubus yang dibuatnya.

Faktanya, Guru OK ada di tempat LES atau Bimbingan Belajar. Lalu Guru NG (Not Good), kebanyakan ada di sekolah negeri dan swasta.

Yang mengakibatkan orang berfikir, klo LES atau BIMBEL, anak saya akan lebih pintar dan paham terhadap pelajaran di sekolah, weka-weka.

Biarkan UN tetap ada, tapi tidak untuk menjadi standard kelulusan melainkan standard pendidikan di Indonesia. Hasil dari UN digunakan untuk proses akreditasi di tiap-tiap sekolah dengan penjagaan dan pengawasan yang ketat tentunya. Lalu kurikulum boleh berubah, tapi pendidikan moral adalah yang terpenting. Dan seleksi menjadi seorang guru, tidak hanya dilihat dari pintar atau tidaknya dia menjawab soal, tapi dilihat bagaimana dia menyampaikan materi dan memahami calon siswanya.

Berharap, pendidikan di Indonesia meningkat dan yang terpenting adalah pendidikan moral.