ME
Follow Me
Tampaknya, kemalasan dan ketidaksabran merupakan budaya yang sudah mengakar di tanah air ku tercinta. Ya, Indonesia! fakta menunjukkan, ada banyak peristiwa dilapangan yang seharusnya tidak dilakukan justru menjadi hal yang dianggap biasa. Klo engga ada pembatas / trotoar di tengah jalan masih bisa lah di toleransi, tapi klo ada pembatas masih melawan arus ? sungguh terlalu.

Salah satunya adalah memilih untuk melawan arah dari pada harus berputar (di Jalan raya). Kita semua sering melihat spanduk yang ditulis oleh kepolisian dengan isi "Melawan arus berarti menantang maut". Bukankah ini demi keselamatan kita semata? Lantas apa yang membuat kita untuk lebih memilih melawan arus? jawabannya jelas, Kemalasan dan ketidaksabaran.

Jika ditanya, mas/mba jalannya kenapa melawan arus? ada saja alasannya macam orang politik :

Biasanya, membaca berita itu membuat saya senang karena tanpa disadari pengetahuan saya sudah bertambah tanpa harus susah payah (cukup membaca). Namun demikian, membaca berita kadang membuat saya sedih & bingung sambil berkata : astagfirullah / kok bisa ya / ga habis fikir dan kalimat shock lainnya.
Berikut link berita yang dimaksud, cekidot :

   Tidak pernah terlintas dalam fikiran Normi akan bekerja di DKI Jakarta, meskipun motto hidupnya "tidak ada yang tidak mungkin", begitu fikirnya sepanjang perjalanan menuju tempat wawancara kerja di Jakarta Selatan. Normi adalah pria asal Bekasi yang baru saja lulus SMK Multimedia, tak ada yang luar biasa dari seonggok Normi, hanya saja hidungnya pesek, matanya belo, bibirnya tebal, kupingnya caplang, rambutnya lurus dan kepalanya lonjong, di samping itu Dia orang pertama di kelasnya yang memutuskan untuk bekerja setelah lulus dari SMK, padahal waktu itu Dia masih kelas 1. Bukan karena Dia malas belajar, melainkan karena Normi adalah anak pertama dari empat bersaudara, ditambah lagi Ibundanya menginginkan Dia bekerja setelah lulus SMK agar dapat membantu ekonomi keluarga. Maklum, Normi berlatarbelakang dari keluarga yang tidak bisa dikatakan kaya, namun dia selalu menegaskan "Guwe emang gak kaya harta, tapi Guwe kaya hati" atau "Tenang, Allah maha kaya" begitu ucapnya dengan semangat, setiap kali membahas hal yang ingin dicapainya namun uang menjadi penghambatnya. Selain untuk membantu ekonomi keluarga, Ibundanya juga berharap kepada Allah, agar kelak Normi bisa kuliah dengan uangnya sendiri.

Semenjak SD Normi bercita-cita ingin menjadi pembalap, karena menurutnya menjadi seorang pembalap itu keren, maco, dan olahraga lelaki pastinya, dengan menggunakan baju balap seperti di tv-tv. Setelah smp, Normi bercita-cita ingin menjadi seorang TNI AD. Menurutnya bisa menjadi seorang TNI AD itu hebat, bisa pegang senjata laras panjang, baris dengan badan yang tegap, bunyi sepatu "..bruk...bruk..bruk..", baret hijau di kepala, baju loreng di badan, mungkin ini salah satu efek dari mengikuti ekskul pramuka, padahal di Pramuka, Normi hanya datang 1 kali selama 1 tahun, saat kegiatan pelantikkan regu inti di SMPnya. Selama acara pelantikkan, Normi diperlakukan layaknya seorang TNI, itulah yang membuatnya ingin menjadi seorang TNI AD. Namun setelah Normi melanjutkan pendidikan ke SMK, ia bercita-cita ingin menjadi sutradara, sepertinya Normi anak yang sangat labil -_- . Di SMK, Normi mendalami jurusan Multimedia, yang mempelajari tentang membuat video dan desain grafis, mungkin inilah yang menyebabkan dia ingin menjadi sutradara.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh (klo jalan kaki), akhirnya Normi pun sampai ke tempat wawancara kerja bersama dengan Pak Ardni. Pak Ardni adalah tetangga sekaligus calon manager dari Normi. Terlihat tampak sedikit grogi dan kedinginan dari bahasa tubuh Normi, karena jarang berada di ruangan ber-AC, bahasa tubuh yang dimaksud adalah menggigil.

"Kamu tunggu di loby saja, klo resepsionisnya sudah datang kamu bilang sama dia, mau wawancara dan bertemu dengan ibu Inuy." kata pak Ardni.

"Oke pak." balas Normi.

Bersambung...